“Menurut Papah, Keperawanan itu penting nggak sih dalam perkawinan..!?” Tanya Maya (anak tiriku). Aku tidak langsung menjawab. Ku tatap matanya sedalam-dalamnya selama beberapa saat. Kemudian aku melirik ke arah istriku yang ternyata ternyata tersenyum kecil ke arahku.

“Ehm… Tidak!” Jawabku sambil meneruskan makanku.

“Jadi, misalkan aku menikah nanti, tapi sudah tidak perawan. Nggak jadi masalah, ya Pah!?” Tanyanya lagi.

“Bukan begitu maksud Papah, Sayang!” Jawabku seraya mengambil gelas dan minum beberapa teguk air the hangat yang dibuatkan istriku.

“Dalam pernikahan, perawan atau tidak perawan itu tidak penting, Sayang! Mamah kamu juga nggak perawan saat Papah nikahin…” Jawabku lengkap dengan mengambil Ibunya sebagai contoh.

“Tapi, keperawanan itu penting buat cewek, seperti kamu ini…” Lanjutku.

“Maksud, Papah…!!?” Tanya Maya selanjutnya. Sepertinya ia memang sudah mulai berpikiran dewasa secara biologis.

“Iya…!! Keperawanan itu adalah simbol ketulusan cinta. Berikan cowok hanya pada yang juga tulus menncintaimu…” Jawabku dengan sedikit beraroma kata-kata bijak. Maya terdiam seperti memikirkan maksud kata-kata bijakku. Sementara di sisi lain, istriku hanya tersenyum kepadaku.

“Menurut Mamah, Gimana..!!?” Aku mencoba melibatkan istriku yang dari tadi hanya tersenyum. Ku pikir, saat aku membersihakn diri tagdi, mereka berdua pasti telah berbicara lebih leluasa tentang cinta dan seks.

“Iya, Sayang!” Kata istriku sambil meraih dan menggenggam tangan putrinya.

“Jadi cewek jangan terlalu mudah memberikan keperawanan kepada laki-laki. Jangankan pacar, atau siapapun yang kamu cintai. Papahmu pasti juga nggak akan bisa menahan birahinya, jika kamu memberi peluang untuk merenggut keperawananmu…” Kata istriku dengan kata-kata yang sangat manis. Tetapi cukup tajam bagiku yang menyimpan imajinasi tentang keperawanan Maya, anak tiriku. Apakah kata-kata istriku itu hanya sebuah ungkapan untuk menasehati putrinya, ataukah ia mampu melihat sebuah gelagat di diriku tentang keinginan untuk merasakan bercinta dengan perawan? Entahlah. Tapi kata-katanya itu cukup membuat putrinya memahami tentang arti pentingnya keperawanan.

“Iya, Mah! Maya mengerti…! Maya mau balik ke kamar lagi, ya Mah!”, Maya bangkit dari tempat duduknya lalu mencium pipi Mamahnya.

“Mama mo bobo dulu ya Pah!” Begitu katanya sambil mendaratkan juga ciumannya di pipiku.

“Pah! Lain kali kalau mau ML di kamar Papah aja, ya!” Begitu kalimat terakhirnya yang terkesan menggodaku. Ia berlalu dari hadapan kami dengan senyuman puas. Istriku juga tersenyum dan menggelengkan kepalanya, saat aku digoda oleh anak tiriku sendiri.

“Mah! Si Maya kamu racuni pakai apa sih tadi…!!?” Tanyaku.

“Enggak diracuni kok, Pah! Memang anaknya udah gede, ya mau bilang apa..!!?” Jawab istriku sambil masih tersenyum.

“Tadi Mamah gimana sih ngomongnya ke Maya?” Tanyaku penasaran.

“Nanti aja di kamar Mamah cerita’in. Papah habisin dulu makannya, OK Pah!?” Begitulah jawabann istriku untuk membuat cerita ini teruuus saja bersambung….

Bersambung……..

About Ibu Verra

Aku seorang Ibu rumah tangga yang bangga menjadi seorang Ibu untuk anakku, seorang istri untuk suamiku, dan seorang wanita bagi semua orang. Aku dulu seorang perawan, tetapi dalam sekejap semua hilang, ketika aku merelakan hidupku untuk mendampingi suamiku.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.